Dalam era digital ini, keberadaan media sosial adakalanya memberi dampak positif dan negatif. Di satu sisi, kita dapat berbagi informasi dan inspirasi secara luas; di sisi lain, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam riya atau pamer dalam berbuat baik. Istilah “pahala melayang” merujuk pada hilangnya nilai ibadah ketika seseorang berperilaku untuk dipuji, terlepas dari niatnya untuk melakukan kebaikan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana mentalitas yang salah ini dapat mempengaruhi interaksi kita di dunia maya.
Media sosial adalah platform yang luar biasa untuk menyebarkan kebaikan. Dengan sekali klik, pesan-pesan kebaikan dapat menjangkau ribuan, bahkan jutaan, orang. Namun, sering kali niat kita untuk berbuat baik dapat tergelincir menjadi keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau pujian. Hal ini bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas interaksi sosial yang lebih mendalam dan berarti.
Dalam konteks ini, motivasi utama dibalik tindakan kebaikan kita perlu dievaluasi. Apakah kita melakukan sesuatu dengan tulus, atau adakah kebutuhan untuk dipandang baik oleh orang lain? Menjadi “viral” sering kali menjadi tujuan, namun apakah kita menyadari konsekuensi dari tindakan kita? Kebaikan haruslah datang dari hati, bukan karena keinginan untuk dikenang oleh masyarakat.
Pahala yang kita peroleh dalam berbuat baik adalah inti dari setiap tindakan kita. Akan tetapi ketika tindakan itu disertai dengan keinginan untuk memamerkan kepada khalayak, maka pahala tersebut bisa dengan mudah terhapus. Menjadi sadar akan ini adalah langkah penting dalam menjaga integritas niat kita. Mengapa berbuat baik? Jawabannya adalah untuk kebaikan itu sendiri, bukan untuk mendapatkan endorsement sosial.
Beberapa inspirasi yang dapat menjaga kita tetap di jalur yang benar dalam berinteraksi di media sosial adalah:
- Mengutamakan Niat yang Benar: Sebelum melakukan sesuatu di media sosial, tanyakan pada diri sendiri, “Mengapa saya melakukannya?” Apakah itu untuk mendapatkan pujian atau semata-mata untuk membantu orang lain? Mempertahankan niat yang benar adalah kunci untuk memastikan bahwa pahala tidak melayang.
- Mendorong Kebaikan dengan Ketulusan: Cobalah untuk menerapkan prinsip ketulusan dalam setiap kebaikan yang dilakukan. Berbagi pengalaman positif tanpa memikirkan bagaimana orang lain melihat kita adalah langkah menuju kebaikan yang genuine. Kita bisa mencontoh individu atau kelompok yang melaksanakan kegiatan sosial tanpa membagikan citra diri mereka. Ini adalah cara yang kuat untuk menunjukkan bahwa kebaikan dapat dan harus dilakukan tanpa sorotan publik.
- Fokus pada Dampak, Bukan Pengakuan: Ketika kita melakukan kebaikan, fokuslah pada dampak yang mungkin ditimbulkan. Apakah tindakan kita memberi manfaat bagi orang lain? Adalah jauh lebih memuaskan ketika kita dapat mengetahui bahwa kebaikan kita telah membantu seseorang, meskipun tanpa mendapat pengakuan.
- Menghindari Pamer Kebaikan di Media Sosial: Kadang, orang merasa bahwa berbagi kebaikan di media sosial adalah bentuk motivasi. Namun, melakukan kebaikan murni tanpa perlu memberitahukan orang lain adalah lebih bermakna. Ketika kebaikan kita terkesan sederhana, hal itu justru bisa menginspirasi lebih banyak orang untuk mengikuti langkah tersebut dengan cara yang tulus.
- Membangun Rasa Peduli yang Dalam: Koneksi dengan orang-orang di sekitar kita sangat penting. Bertindaklah dengan cara yang membangun rasa peduli dan saling memahami. Kebaikan tidak harus selalu dilakukan secara publik; kadang-kadang, tindakan kecil yang dilakukan dalam diam dapat memiliki dampak yang jauh lebih signifikan.
Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya niat dalam berbuat baik adalah langkah awal untuk menghindari riya. Ada satu cerita yang patut diteladani tentang seorang dermawan yang menyisihkan sebagian harta untuk membantu anak-anak yatim piatu. Ia tidak pernah membagikan pencapaian ini di media sosial. Dalam kesederhanaan tersebut, ia menemukan kepuasan yang tidak bisa diukur dengan angka pengikut atau like. Itulah esensi dari kebaikan sejati.
Penting juga untuk menyadari bahwa media sosial adalah alat yang dapat digunakan untuk menyebarkan kebaikan. Namun, alat ini dapat digunakan secara bijak atau sebaliknya, merusak kedalaman makna dari kebaikan itu sendiri. Ketika kita memilih untuk berbagi hanya ketika ada tekanan sosial untuk melakukannya, maka tindakan baik itu bisa saja kehilangan substansi dan hanya menjadi rutinitas kosong.
Jadi, mari kita bersama-sama berkomitmen untuk tidak hanya menjadi konsumen konten di media sosial, tetapi juga produsen kebaikan yang berdampak. Mari kita jadikan media sosial sebagai ladang amal yang mampu membawa makna lebih dalam setiap tindakan. Ketika kebaikan dilakukan dengan tulus, pahala tidak akan hilang, dan justru, ia akan kembali kepada kita dengan cara yang tidak terduga. Jadilah teladan bagi orang lain dengan kebaikan yang tidak perlu diumbar, dan lihatlah bagaimana perubahan positif dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.