Dalam era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Banyak dari kita terlibat dalam berbagai platform, berbagi momen, pemikiran, dan peristiwa. Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat bahaya yang tersembunyi, yaitu fenomena riya—tindakan melakukan sesuatu hanya untuk dipandang baik oleh orang lain. Dalam konteks ini, “Pahala Hangus Gara-gara Status” menjadi tema yang sangat relevan. Apakah status yang kita bagikan dapat menggugurkan pahala? Mari kita selami lebih dalam.
Mengapa kita berbagi? Tentu, berbagi adalah suatu hal yang intrinsik bagi manusia. Namun, ketika niat kita bergeser dari berbagi untuk kebaikan menuju keinginan untuk mendapatkan pengakuan, di situlah bahaya sebenar muncul. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan, bisa berbalik menjadi alat untuk menyumbar. Mentalitas ini sering kali dijuluki sebagai ‘gambar kehidupan yang sempurna’—di mana setiap unggahan dirancang untuk mengesankan, alih-alih menggugah semangat atau berbagi pengetahuan.
Saat kita memposting tentang amal yang kita lakukan atau tindakan baik lainnya, apakah kita benar-benar melakukannya demi kebaikan? Atau adakah hasrat tersembunyi untuk mendapatkan ‘likes’ atau pujian dari follower? Ini adalah titik krusial yang perlu kita pikirkan dengan serius. Dalam Islam, setiap amal yang kita lakukan haruslah diiringi dengan niat yang tulus. Ketika niat kita teralihkan hanya untuk pamer, pahala yang seharusnya kita peroleh bisa jadi hangus tanpa kita sadari.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 264, Allah mengingatkan umat-Nya untuk tidak memberi nafkah dengan cara yang dapat menimbulkan bahaya atau gangguan bagi orang lain. Jika dilihat dari perspektif ini, unggahan-unggahan kita yang berfokus pada diri sendiri mungkin saja menciptakan dampak negatif terhadap orang-orang di sekitar kita, termasuk mendorong mereka untuk merasa inferior atau tidak cukup baik. Apakah ini yang kita inginkan? Tentu bukan.
Pahala hangus gara-gara status bukan hanya tentang kehilangan reward dari amal yang telah dilakukan, tetapi juga berimplikasi lebih jauh. Mentalitas ini dapat menciptakan siklus perilaku yang tidak sehat, di mana kita terjebak dalam perlombaan mengumpulkan pengakuan dari orang lain, dan mengabaikan substansi amal yang sesungguhnya. Ketika kita terlalu fokus pada penilaian eksternal, kita kehilangan makna dari tindakan baik itu sendiri.
Lantas, bagaimana kita bisa memerangi budaya riya ini? Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memperkuat niat sebelum kita melakukan suatu amal. Berdoalah kepada Allah agar setiap tindakan kita diberikan motivasi yang tepat, yakni untuk menggapai ridha-Nya, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Membuat catatan pribadi tentang amal kita juga dapat membantu mengingatkan diri akan tujuan awal kita. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan jarak dari pengaruh media sosial yang sering kali merusak pola pikir kita.
Praktikkan pula sikap rendah hati dalam setiap tingkah laku kita. Mengakui bahwa tidak ada yang istimewa dari diri kita jika dibandingkan dengan orang lain dapat mendorong kita untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Lakukanlah amal tanpa harus mengumumkannya kepada dunia. Kebaikan yang dilakukan dalam sunyi, jauh lebih berharga daripada yang diumbar ke publik.
Hal lain yang penting adalah sosialisasi yang sehat di media sosial. Bergabunglah dalam komunitas positif yang mendukung satu sama lain tanpa harus saling pamer. Di sinilah keajaiban media sosial dapat terjadi—ketika kita dapat saling mendukung dan mendorong amal kebaikan satu sama lain tanpa harus membandingkan diri. Keterlibatan dalam diskusi yang fokus pada produktivitas, pembelajaran, dan kebangkitan spiritual kini sangat penting.
Memang, mengubah pola pikir ini tidaklah mudah, tetapi usaha untuk berkomitmen pada keikhlasan patut dilakukan. Dengan membentuk kebiasaan untuk mengevaluasi niat sebelum memposting, kita dapat mulai menemukan kembali makna dari setiap tindakan baik yang kita lakukan. Pertanyaan kritis yang bisa diajukan adalah, “Apakah saya melakukan ini untuk mendapatkan pahala dari Allah atau untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang?” Jawaban jujur kita terhadap pertanyaan ini adalah kunci untuk memahami dan menghindari terjerumus dalam riya.
Pada akhirnya, pahala hangus gara-gara status bukan sekadar istilah, tetapi sebuah peringatan tentang pentingnya menjaga niat dan tujuan kita. Media sosial seharusnya menjadi alat untuk menyebarkan kebaikan, bukan menjadi arena pamer. Setiap kali kita ingin membagikan sesuatu, mari kita tanyakan pada diri sendiri—”Apakah ini untuk mendapatkan pujian atau untuk mengajak berbuat baik?” Dengan demikian, kita dapat melanjutkan perjalanan kita di media sosial dengan cara yang lebih beretika, dan tentunya, lebih dapat membawa keberkahan.