Pahala berkurang karena riya dan ujub merupakan konsep yang sangat penting dalam konteks ibadah, baik yang bersifat ritual maupun amalan keseharian. Perlunya menjaga ketulusan dalam setiap perbuatan ibadah merupakan inti dari setiap proses keagamaan yang sejati. Makna dari riya dan ujub sangat kaya dan mendalam, menuntut pemahaman yang lebih daripada sekadar pengetahuan teoretis.
Riya, dalam istilah Arab, berarti ‘muncul’ atau ‘melihat’. Dalam pengertian syariat, riya adalah suatu tindakan melakukan ibadah dengan niat agar dilihat atau dipuji oleh orang lain. Misalnya, seseorang yang melakukan shalat bukan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, melainkan agar orang lain mengagumi atau menghormatinya. Dengan demikian, ibadah yang seharusnya menjadi penghubung antara hamba dan Tuhan, berubah menjadi sebuah pertunjukan di hadapan orang lain.
Ujub, di sisi lain, merupakan perasaan bangga atau merasa lebih baik dibandingkan dengan orang lain atas amalan yang telah dilakukan. Ujub sering menghinggapi seseorang setelah melakukan suatu ibadah yang dianggapnya berhasil. Ketika seseorang merasakan bahwa ibadahnya lebih baik daripada ibadah orang lain, ini menjadi landasan bagi sifat ujub untuk tumbuh. Alhasil, keberadaan ujub dalam hati akan mengikis nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan yang seharusnya ada pada setiap perbuatan.
Kedua sifat ini, riya dan ujub, sangat berbahaya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Hal ini menekankan bahwa kualitas ibadah bergantung pada niat yang tulus di belakangnya. Tanpa niat yang tulus, amalan yang dilakukan, sekaya apapun, akan tergugurkan nilainya di sisi Allah SWT.
Ketulusan dalam beribadah sangat erat kaitannya dengan keikhlasan. Keikhlasan adalah kondisi di mana seseorang beribadah semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan dari siapapun. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5). Ayat ini menegaskan bahwa ketulusan adalah syarat utama dalam beribadah.
Menjaga ketulusan dalam ibadah bukanlah hal yang mudah. Di tengah lingkungan yang cenderung mengedepankan pengakuan sosial, tantangan untuk tetap ikhlas kerap kali muncul. Sebagai contoh, dalam kegiatan sosial seperti berdonasi atau beramal, terkadang ada kecenderungan untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa kita dermawan. Hal ini, tentu saja, mendorong seseorang jatuh ke dalam perangkap riya, yang pada akhirnya akan mengurangi pahala yang seharusnya didapat.
Salah satu cara untuk memperkokoh ketulusan dalam beribadah adalah dengan melakukan introspeksi diri. Mengajukan pertanyaan pada diri sendiri dan berusaha menjawabnya dengan jujur dapat membuka tabir ketulusan yang sejati. Bertanya pada diri sendiri, “Mengapa saya melakukan ini?” atau “Apakah saya ingin dipuji orang lain?” dapat menjadi langkah awal untuk mengenali niat yang mendasari setiap amalan.
Selain itu, berupaya untuk menuturkan niat sebelum melakukan ibadah juga sangat membantu. Dalam Islam, setiap amal tergantung pada niatnya. Oleh karena itu, melafazkan niat dengan tulus, sebelum memulai sebuah ibadah, akan menguatkan motivasi untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dengan begitu, potensi pengaruh riya akan berkurang secara signifikan.
Menghargai dan memperhatikan orang lain dengan sikap yang penuh penghormatan dan tanpa rasa bangga juga merupakan kunci untuk menghindari ujub. Dalam aktivitas sehari-hari, berusaha untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain dan menghargai setiap amal perbuatan orang lain akan membawa kita pada ketenangan jiwa dan keikhlasan yang sejati.
Begitu menyadari pentingnya menjaga ketulusan dalam beribadah, setiap individu diharapkan mampu mengikhlaskan setiap perbuatan. Dalam jangka panjang, ini tidak hanya akan bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga akan meningkatkan kualitas kehidupan bermasyarakat secara keseluruhan. Bukankah dengan beribadah yang tulus, kita dapat menebar keberkahan dan keteladanan bagi orang lain di sekitar kita?
Dengan memahami dan merenungkan konsep riya dan ujub, serta berusaha untuk menjaga ketulusan dalam setiap ibadah, kita tidak hanya akan memperoleh pahala yang berlimpah, tetapi juga akan merasakan kedamaian dan kepuasan batin yang hakiki. Pada akhirnya, inilah tujuan utama dari setiap ibadah; untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.