Dalam era globalisasi dan perkembangan ekonomi yang pesat, kebijakan fiskal menjadi salah satu hal yang sangat penting bagi negara-negara di seluruh dunia. Dua pendekatan yang sering dibahas dalam konteks ini adalah kebijakan fiskal Islam dan kebijakan fiskal konvensional. Meskipun kedua sistem ini bertujuan untuk mencapai stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya yang sering kali kurang dipahami. Artikel ini akan membahas secara rinci sepuluh perbedaan antara kebijakan fiskal Islam dan konvensional untuk memberikan wawasan yang lebih mendalam kepada pembaca.
- Dasar Filosofis: Kebijakan fiskal konvensional biasanya didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi sekuler, sementara kebijakan fiskal Islam didasarkan pada tuntunan Al-Qur’an dan Hadis, serta prinsip-prinsip syariah yang menekankan keadilan sosial dan kesejahteraan umat.
- Tujuan Utama: Kebijakan fiskal konvensional umumnya bertujuan untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi, sedangkan kebijakan fiskal Islam tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi tetapi juga moral dan sosial, dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan distribusi kekayaan yang merata.
- Pengumpulan Pajak: Dalam kebijakan fiskal konvensional, pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah, tanpa mempertimbangkan halal atau haramnya sumber pendapatan. Sementara itu, dalam kebijakan fiskal Islam, pajak seperti zakat, yang merupakan kewajiban moral, berfungsi untuk membersihkan harta dan mendistribusikan kekayaan kepada yang membutuhkan.
- Pengeluaran Pemerintah: Pada kebijakan fiskal konvensional, pengeluaran pemerintah sering kali ditentukan oleh kebutuhan ekonomi atau keinginan politik. Namun, dalam kebijakan fiskal Islam, pengeluaran pemerintah harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tidak untuk tujuan yang diharamkan.
- Defisit Anggaran: Defisit dalam kebijakan fiskal konvensional dianggap sebagai hal yang dapat diterima untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, dalam kebijakan fiskal Islam, defisit anggaran harus diminimalkan, karena utang yang membawa riba dianggap haram dan tidak etis.
- Pendanaan Proyek Publik: Dalam kebijakan fiskal konvensional, proyek publik sering kali dibiayai melalui pajak dan utang. Sebaliknya, dalam kebijakan fiskal Islam, pendanaan proyek bisa dilakukan melalui instrumen syariah seperti sukuk, yang sesuai dengan prinsip keadilan dan tanpa unsur riba.
- Monetisasi Utang: Kebijakan fiskal konvensional sering kali melibatkan pencetakan uang untuk membiayai defisit, yang dapat memicu inflasi. Dalam kebijakan fiskal Islam, pencetakan uang untuk tujuan ini tidak diperkenankan, dan pendekatan yang lebih bertanggung jawab terhadap pengelolaan uang diutamakan.
- Inklusi Sosial: Kebijakan fiskal konvensional cenderung fokus pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tanpa menekankan pada inklusi sosial. Sebaliknya, kebijakan fiskal Islam berusaha untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat memiliki akses terhadap sumber daya dan layanan dasar.
- Sistem Insentif: Insentif dalam kebijakan fiskal konvensional sering kali diberikan untuk mendorong investasi dan konsumsi. Dalam kebijakan fiskal Islam, insentif yang diberikan haruslah sesuai dengan prinsip syariah dan tidak mengandung unsur yang haram, seperti riba atau spekulasi.
- Peran Masyarakat: Kebijakan fiskal konvensional sering kali ditetapkan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat secara langsung. Sebaliknya, dalam kebijakan fiskal Islam, partisipasi masyarakat, terutama dalam menentukan pengeluaran publik melalui musyawarah dan partisipasi komunitas, sangat ditekankan.
Kesimpulannya, perbedaan antara kebijakan fiskal Islam dan kebijakan fiskal konvensional mencakup berbagai aspek, mulai dari dasar filosofi, tujuan, hingga metode pelaksanaan. Memahami perbedaan ini penting bagi para pembuat kebijakan, ekonom, dan masyarakat umum, agar dapat memilih pendekatan yang paling sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat. Di zaman yang semakin kompleks ini, pertimbangan moral dan etika dalam kebijakan fiskal akan menjadi semakin relevan, sehingga kebijakan yang diambil tidak hanya berorientasi pada angka, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.